Sebelum tahun 2013 benar-benar berlalu, ada baiknya kita mengevaluasi
kehidupan kita selama setahun yang telah lewat. Bagaimana kehidupan
kerohanian kita, bagaimana kesetiaan kita pada Allah dan bagaimana kasih
kita kepada sesama? Dan untuk mengawali tahun 2014, saya mengajak Anda
untuk menulis dalam selembar kertas dan menempelkannya di tempat yang
paling sering Anda lihat - sebagai komitmen sepanjang tahun yang akan datang - sebagai berikut:
TAHUN 2014 INI
....Selesaikan perselisihan
....Temui teman yang sudah terlupakan
....Hilangkan kecurigaan dan gantilah dengan kepercayaan
....Tulislah surat yang bersahabat
....Bagikan berkat yang berharga
....Berikan jawaban yang lembut
....Berikan semangat pada para remaja
....Tunjukkan kesetiaan dalam perkataan dan perbuatan
....Tepatilah janji
....Sediakan waktu luang
....Singkirkan dendam
....Ampunilah musuh Anda
....Dengarkanlah keluhan orang lain
....Mintalah maaf bila bersalah
....Cobalah untuk mengerti
....Hilangkan rasa iri
....Periksa tuntutan Anda pada orang lain
....Pikirkan orang lain lebih dahulu
....Hargailah
....Bersikaplah ramah dan lemah lembut, jangan ketus
....Tertawalah sedikit
....Tertawalah sedikit Lebih banyak
....Yakinlah
....Tolaklah rasa benci
....Lawanlah kepuasan terhadap diri sendiri
....Nyatakanlah rasa terimakasih Anda
....Senangkanlah hati seorang anak
....Nikmatilah keindahan alam
....Nyatakanlah kasih Anda secara terbuka
....Nyatakanlah lagi
....Nyatakanlah sekali lagi
Anda siap? Anda telah berjanji bukan hanya kepada diri sendiri, tetapi
juga kepada Tuhan dan itu artinya Anda harus menepatinya. SELAMAT
MENYAMBUT TAHUN BARU.......
Selasa, 31 Desember 2013
Rabu, 18 Desember 2013
ORANG TUA OTORITER HASILKAN ANAK PECUNDANG
Buku Battle Hymn of the Tiger Mother melahirkan sebutan tiger parents,
tiger mothers, bahkan tiger cubs.Tepat pada masa buku Battle Hymn
menimbulkan kehebohan, adalah Su Yeong Kim, associate professor untuk
bidang Human Development and Family science di University of Texas.
Waktu itu penelitiannya terhadap 300 keluarga orang-orang beretnik Asia di AS sudah menginjak tahun ke sepuluh. Penelitiannya berawal dari paradoks yang muncul di kalangan keluarga-keluarga Asia di AS.
Banyak ibu-ibu Asia mendidik anak-anak mereka dengan tangan besi, menerapkan disiplin dan tuntutan akademik ambisius kepada anak-anaknya, dan toh anak-anak mereka meraih prestasi akademik gemilang. Itu kesan umum yang tertangkap oleh publik. Ia tergelitik untuk membuktikan lewat riset, benarkah kenyataannya demikian?
Mengapa dalam keluarga-keluarga Amerika non-imigran dengan latar belakang Eropa dan Amerika, pendekatan otoriter dalam parenting terbukti menghasilkan anak-anak yang tertekan dan pecundang?
Respondennya sebagian besar dipilih yang kelahiran Asia, sebagian besar Hongkong dan Cina Selatan. Pada umumnya pendidikan mereka rendah dengan penghasilan juga rendah. Anak-anak mereka 75%-nya kelahiran AS.
Maret 2013 Su mengumumkan hasil penelitian yang ditunggu-tunggu tersebut. Ternyata, “anak-anak macan” yang dididik secara keras dengan tuntutan tinggi dan disiplin mati oleh “orangtua macan”, prestasi dan keberhasilan akademiknya rendah.
Mereka lebih sulit beradaptasi, terisolasi dalam keluarga ketimbang anak-anak dari orangtua yang lebih suportif dan nyantai. Kesimpulan ini sesuai benar dengan banyak hasil penelitian selama ini.
Di sisi lain, success stories juga ada, seperti yang diungkapkan oleh Sophia Chua di New York Post (“Why I Love My Strict Chinese Mom”- nypost.com), juga Grace Liu di CNN (“Why Tiger Moms are Great”- cnn.com).
Tetapi nyatalah, hasil penelitian Su menyimpulkan, orangtua macan sering kali malah melahirkan anak-anak ayam yang penakut dan pecundang.
Sumber: Kompas Female
Waktu itu penelitiannya terhadap 300 keluarga orang-orang beretnik Asia di AS sudah menginjak tahun ke sepuluh. Penelitiannya berawal dari paradoks yang muncul di kalangan keluarga-keluarga Asia di AS.
Banyak ibu-ibu Asia mendidik anak-anak mereka dengan tangan besi, menerapkan disiplin dan tuntutan akademik ambisius kepada anak-anaknya, dan toh anak-anak mereka meraih prestasi akademik gemilang. Itu kesan umum yang tertangkap oleh publik. Ia tergelitik untuk membuktikan lewat riset, benarkah kenyataannya demikian?
Mengapa dalam keluarga-keluarga Amerika non-imigran dengan latar belakang Eropa dan Amerika, pendekatan otoriter dalam parenting terbukti menghasilkan anak-anak yang tertekan dan pecundang?
Respondennya sebagian besar dipilih yang kelahiran Asia, sebagian besar Hongkong dan Cina Selatan. Pada umumnya pendidikan mereka rendah dengan penghasilan juga rendah. Anak-anak mereka 75%-nya kelahiran AS.
Maret 2013 Su mengumumkan hasil penelitian yang ditunggu-tunggu tersebut. Ternyata, “anak-anak macan” yang dididik secara keras dengan tuntutan tinggi dan disiplin mati oleh “orangtua macan”, prestasi dan keberhasilan akademiknya rendah.
Mereka lebih sulit beradaptasi, terisolasi dalam keluarga ketimbang anak-anak dari orangtua yang lebih suportif dan nyantai. Kesimpulan ini sesuai benar dengan banyak hasil penelitian selama ini.
Di sisi lain, success stories juga ada, seperti yang diungkapkan oleh Sophia Chua di New York Post (“Why I Love My Strict Chinese Mom”- nypost.com), juga Grace Liu di CNN (“Why Tiger Moms are Great”- cnn.com).
Tetapi nyatalah, hasil penelitian Su menyimpulkan, orangtua macan sering kali malah melahirkan anak-anak ayam yang penakut dan pecundang.
Sumber: Kompas Female
MUSIM KE GEREJA
Disadari atau tidak, pada bulan Desember, biasanya semangat keagamaan
orang Kristen melonjak tajam. Gereja mulai dipenuhi oleh orang-orang
yang pada bulan-bulan sebelumnya malas ke gereja. Bangku-bangku gereja
yang biasanya kosong, sekarang terisi semua, bahkan bangku cadangan pun
mulai dipasang. Keluarga-keluarga yang biasanya tidak lengkap datang ke
gereja, sekarang mulai datang secara bersamaan, tampak harmonis dan menyenangkan untuk dipandang.
Entah bagaimana ceritanya bila bulan Desember tiba atau bila mendekati perayaan Natal, orang Kristen yang “tertidur” kembali terbangun. Entah karena suara lonceng gereja atau karena senandung lagu-lagu Natal yang berkumandang di mana-mana. Mereka mulai ‘menyempatkan diri’ untuk pergi beribadah ke gereja, mungkin dengan sungguh-sungguh untuk ‘menebus dosa’ karena sepanjang tahun telah melupakan Tuhan; atau mungkin hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat, bahwa orang Kristen harus ke gereja, paling tidak menjelang Hari Raya keagamaannya; atau mungkin memenuhi tuntutan gerejani karena dia seorang anggota majelis gereja atau diangkat menjadi salah seorang dari panitia Natal.
Bukan cuma semangat untuk beribadah ke gereja saja yang melonjak pada bulan Desember atau menjelang Natal, orang Kristen tiba-tiba berubah menjadi ‘murah hati’ kepada gereja dan kaum papa. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk dana Natal dan aksi-aksi sosial Natal bagi orang-orang yang berkekurangan, padahal pada hari-hari sebelumnya mereka terkenal ‘pelit.’
Bukan tidak boleh, tetapi mengapa semua itu dilakukan hanya di sekitar nuansa Natal? Mengapa ke gereja harus ada musimnya? Mengapa berbuat baik harus menunggu waktu khusus? Bukankah seharusnya itu sudah menjadi gerak dan irama hidup orang Kristen? Bukankah seharusnya ibadah dan perbuatan baik kita merupakan wujud kasih kita kepada Allah dan kepada sesama?
Firman Tuhan mengatakan: Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang Hari Tuhan yang mendekat. (Ibrani 10:25). Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang, Tuhan sudah dekat! (Filipi 4:5). Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik (2 Tesalonika 3:13). Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi...(1 Timotius 6:18). ....dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik ( Titus 2:14). Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah (Ibrani 13:16).
Bukankah ayat-ayat Firman Tuhan itu sudah cukup memberi kita penjelasan bahwa ibadah kita kepada Allah dan perbuatan baik kita kepada sesama tidak tergantung musim? Semua itu harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Bukan hanya waktu Natal saja, melainkan setiap hari selama kita hidup di dunia, kita harus menjadi teladan dalam ibadah kita, hidup kita, perkataan kita, dan perbuatan baik kita.
Kita harus berbakti kepada Allah dengan segenap hati kita, waktu kita, kepandaian kita, kekuatan kita, dan semua yang kita miliki yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Kita juga harus mengasihi sesama kita, apalagi orang-orang yang dalam penderitaan, seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Bagaimana kita dapat mengasihi Tuhan bila pergi ke gereja saja hanya pada waktu Natal? Bagaimana kita bisa mengasihi sesama kita, bila kita berbuat baik hanya bila mendekati Natal saja? Jangan puas menjadi orang Kristen “kapal selam” atau “Sinterklas” saja. Jadilah orang Kristen sejati, itu artinya mengikuti pola hidup Yesus Kristus yang kita ikuti jejaknya.
Merayakan Natal baik, tetapi jangan sampai Kristus hanya menjadi bayi kecil yang tidak pernah menjadi besar dan dewasa dalam hati kita. Setiap Natal kembali Ia lahir dalam hati kita, tetapi setelah itu, ia menjadi kerdil, kurus, tidak pernah makan dan akhirnya mati. Melakukan aksi sosial Natal baik, tetapi mengapa tidak kita lakukan setiap hari saja?
Lihatlah sekelilingmu, adakah seseorang yang perlu dihibur, dikuatkan, dinasihati dan dibantu? Lakukanlah bukan pada musim Natal saja, melainkan sepanjang Anda bisa melakukannya. Amin.
Entah bagaimana ceritanya bila bulan Desember tiba atau bila mendekati perayaan Natal, orang Kristen yang “tertidur” kembali terbangun. Entah karena suara lonceng gereja atau karena senandung lagu-lagu Natal yang berkumandang di mana-mana. Mereka mulai ‘menyempatkan diri’ untuk pergi beribadah ke gereja, mungkin dengan sungguh-sungguh untuk ‘menebus dosa’ karena sepanjang tahun telah melupakan Tuhan; atau mungkin hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat, bahwa orang Kristen harus ke gereja, paling tidak menjelang Hari Raya keagamaannya; atau mungkin memenuhi tuntutan gerejani karena dia seorang anggota majelis gereja atau diangkat menjadi salah seorang dari panitia Natal.
Bukan cuma semangat untuk beribadah ke gereja saja yang melonjak pada bulan Desember atau menjelang Natal, orang Kristen tiba-tiba berubah menjadi ‘murah hati’ kepada gereja dan kaum papa. Mereka tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk dana Natal dan aksi-aksi sosial Natal bagi orang-orang yang berkekurangan, padahal pada hari-hari sebelumnya mereka terkenal ‘pelit.’
Bukan tidak boleh, tetapi mengapa semua itu dilakukan hanya di sekitar nuansa Natal? Mengapa ke gereja harus ada musimnya? Mengapa berbuat baik harus menunggu waktu khusus? Bukankah seharusnya itu sudah menjadi gerak dan irama hidup orang Kristen? Bukankah seharusnya ibadah dan perbuatan baik kita merupakan wujud kasih kita kepada Allah dan kepada sesama?
Firman Tuhan mengatakan: Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati, dan semakin giat melakukannya menjelang Hari Tuhan yang mendekat. (Ibrani 10:25). Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang, Tuhan sudah dekat! (Filipi 4:5). Dan kamu, saudara-saudara, janganlah jemu-jemu berbuat apa yang baik (2 Tesalonika 3:13). Peringatkanlah agar mereka itu berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi...(1 Timotius 6:18). ....dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik ( Titus 2:14). Dan janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan, sebab korban-korban yang demikianlah yang berkenan kepada Allah (Ibrani 13:16).
Bukankah ayat-ayat Firman Tuhan itu sudah cukup memberi kita penjelasan bahwa ibadah kita kepada Allah dan perbuatan baik kita kepada sesama tidak tergantung musim? Semua itu harus dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan. Bukan hanya waktu Natal saja, melainkan setiap hari selama kita hidup di dunia, kita harus menjadi teladan dalam ibadah kita, hidup kita, perkataan kita, dan perbuatan baik kita.
Kita harus berbakti kepada Allah dengan segenap hati kita, waktu kita, kepandaian kita, kekuatan kita, dan semua yang kita miliki yang telah dianugerahkan Allah kepada kita. Kita juga harus mengasihi sesama kita, apalagi orang-orang yang dalam penderitaan, seperti kita mengasihi diri kita sendiri. Bagaimana kita dapat mengasihi Tuhan bila pergi ke gereja saja hanya pada waktu Natal? Bagaimana kita bisa mengasihi sesama kita, bila kita berbuat baik hanya bila mendekati Natal saja? Jangan puas menjadi orang Kristen “kapal selam” atau “Sinterklas” saja. Jadilah orang Kristen sejati, itu artinya mengikuti pola hidup Yesus Kristus yang kita ikuti jejaknya.
Merayakan Natal baik, tetapi jangan sampai Kristus hanya menjadi bayi kecil yang tidak pernah menjadi besar dan dewasa dalam hati kita. Setiap Natal kembali Ia lahir dalam hati kita, tetapi setelah itu, ia menjadi kerdil, kurus, tidak pernah makan dan akhirnya mati. Melakukan aksi sosial Natal baik, tetapi mengapa tidak kita lakukan setiap hari saja?
Lihatlah sekelilingmu, adakah seseorang yang perlu dihibur, dikuatkan, dinasihati dan dibantu? Lakukanlah bukan pada musim Natal saja, melainkan sepanjang Anda bisa melakukannya. Amin.
Langganan:
Postingan (Atom)