Jumat, 08 Agustus 2014

Jempol Tangan Ke Atas

Alkisah menurut sebuah dongeng dari Afrika, keempat jari dan satu jempol dahulu hidup bersama pada sebuah tangan. Mereka adalah sahabat yang tidak terpisahkan. Suatu hari, mereka melihat sebuah cincin emas tergeletak di sebelah mereka dan mereka pun bersepakat untuk mengambilnya. Si jempol mengatakan bahwa mencuri cincin itu adalah perbuatan yang salah, tetapi keempat jari lainnya menyebut si jempol sebagai pengecut yang munafik dan mereka tidak lagi mau berteman dengannya. Si jempol tidak merasa keberatan, karena ia tidak ingin terlibat dalam kejahatan mereka. Itulah mengapa, menurut legenda tersebut, jempol kini terpisah dari keempat jari lainnya.
Dongeng itu mengingatkan saya bahwa ada saatnya kita mungkin merasa begitu sendirian di tengah kejahatan yang merebak di sekitar kita. Pada masa hidup Nuh, bumi telah dipenuhi dengan kekerasan; setiap pikiran dalam hati manusia “selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5,11). Namun “Nuh mendapat kasih karunia di mata TUHAN” (ay.8). Dalam pengabdian yang sepenuh hati, Nuh menaati Allah dan membangun bahtera yang diperintahkan-Nya. Oleh kasih karunia-Nya, Tuhan pun menyelamatkan Nuh dan keluarganya.
Allah juga telah menunjukkan kasih karunia-Nya kepada kita melalui kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus, Anak-Nya. Kita mendapat kehormatan untuk memuliakan Allah dan teguh mengabdi kepada-Nya dalam hidup kita sehari-hari. Allah selalu dekat, bahkan tinggal di dalam kita, sehingga sesungguhnya kita tidak pernah sendirian. “Ia mendengar bila [kita] berteriak minta tolong” (Mzm. 34:15 BIS). —JBS
Pendirian seseorang akan nyata ketika ia berteguh
Demi membela nilai yang benar dan sejati;
Dan yang mempertaruhkan segalanya dalam Allah
Sungguh berkenan di mata-Nya. —D. DeHaan
Tidaklah sulit untuk hidup mengikuti arus; butuh keberanian untuk berjuang melawan arus.

Sumber : http://www.warungsatekamu.org