Saya pernah melihat film tentang LENA MARIA, seorang
wanita cacat, yang tidak memiliki kedua lengan, kakinyapun panjang
sebelah. Lena begitu gigih, dengan kakinya dia melukis, memasak,
memegang garpu, membuka pintu dan memakai baju. Dengan kakinya dia
menyetir mobil yang sudah dimodifikasi dan dengan mulutnya dia menggigit
sabuk pengaman dan menancapkannya pada tempatnya dan menjalankan
mobilnya. Wajahnya begitu ceria, semangat hidupnya meledak-ledak, dengan
gigih walau tidak punya dua tangan belajar berenang dan dia bisa! Dia
tidak berpikir, bahwa tidak punya tangan merupakan halangan baginya
untuk bisa berenang, karena ikan tidak punya tangan dan juga bisa
berenang. Benar juga, dia berenang dengan menggerakkan tubuhnya seperti
ikan dan kakinya seperti ekor ikan. Dia berpikir bisa, berlatih dan
ternyata bisa.
Yang membuat saya tambah heran, ketika diapun menikah dan bahagia. Dia
berpikir, bahwa tidak punya tangan bukan halangan untuk menikah.
Banyak orang yang fisiknya ‘normal’ namun pikirannya ‘sakit’, mereka tidak yakin apakah akan bisa menikah; “Apa ada yang mau dengan saya?” Pikirnya. Banyak pemuda-pemudi berpikir begitu karena menyadari, dirinya ada kekurangan. “Apa ada yang mau, hidung saya besar, kaki saya pendek, jari-jari saya besar-besar, apa ada yang mau, payudara saya kecil” kata mereka dalam hati.
Banyak orang terlalu konsentrasi pada apa yang jelek dari dirinya. “Apakah
ada yang mau menikah dengan saya, bagaimana kalau awalnya mau, tetapi
akhirnya kecewa dan menolak aku, karena aku kasar, aku egois” yang lain menambahkan alasan ‘kelemahan’ lainnya.
Banyak orang berpikir, apa bisa menikah, apa bisa berprestasi, takut
tenggelam dan tidak bisa berenang. Yang membatasi bukan fisik, tetapi
pikiran mereka.
Mereka lupa, bahwa di dunia ini memang tidak ada orang yang sempurna.
Setiap orang memiliki kelemahan, hanya saja mereka yang berhasil, adalah
orang-orang yang berpikir, bahwa ‘kelemahan’nya bukan halangan untuk
berhasil, cacat fisik bukan halangan untuk menikah, kelemahan fisik
bukan batas untuk berkarya. Kenyataan menunjukkan, jika seseorang
memiliki kelemahan fisik, biasanya justru punya kekuatan di bidang
lainnya, entah insting atau seni. Itu keadilan TUHAN.
Tony Mendell, laki-laki tanpa tangan yang bisa bermain
gitar dengan begitu bagus dengan kakinya, sehingga Sri Paus, pemimpin
tertinggi di Roma memanggilnya untuk bermain gitar di hadapannya dan itu
dihadapan ribuan jamaah dan disiarkan di televisi. Sejak itu ia bisa
hidup dari konser demi konser dan undangan demi undangan yang
diterimanya.
Orang memanggil dia bukan hanya karena dia bisa bermain gitar dengan ke
dua kakinya, karena memang dia tidak memiliki tangan, tetapi orang
terkesan dengan pandangan hidupnya, semangat hidupnya, gairah dan
antusias nya menginspirasi banyak orang lain! Tony Mendell, tidak
berpikir, bahwa keadaan fisik merupakan halangan baginya untuk sukses
meraih prestasi puncak.
Shakespeare, adalah orang yang lumpuh, namun ia berkarya besar dikenal sebagai seniman, sutradara sandiwara operete kelas dunia.
Beethoven, musik klasiknya masih terus diputar orang
hingga hari ini. Siapa menyangka bahwa ia justru memiliki gangguan
pendengaran telinga?
John Milton, pengarang sajak/ puisi di Inggris adalah orang buta.
Kisah legendaris untuk orang cacat yang sukses adalah Helen Keller,
wanita sarjana yang tuli dan buta. Ia menulis buku, keliling 20
negara berbicara dihadapan orang-orang cacat untuk memberi motivasi
hidup. Helen Keller mendapat penghargaan dari ratu Victoria Inggris.
Helen Keller menjadi orang sukses ditangan guru yang tepat, Guru Anne
Sullivan, yang memberinya dorongan, bahwa cacat bukan halangan untuk
suskes.
John F.Kennedy, salah satu presiden Amerika yang mengalami cedera tulang belakang yang parah. Hitler pun bertubuh kecil dan pendek dan menjadi pemimpin bangsanya.
Saya bangga dalam beberapa hal tentang Indonesia, kita negara yang relatif baru dalam hal berdemokrasi, tetapi luar biasa, kita memiliki Presiden wanita, yaitu, Megawati. Amerika saja belum pernah memiliki presiden wanita. Sebagai wanita, Megawati bertubuh gemuk, namun beliau tidak berpikir bahwa gemuknya menghalangi untuk sukses, beliau memiliki integritas. Karena memang ‘cantik’ bagi seorang manusia bukan ‘fisik’ yang langsing semampai, tetapi batinnya dan karakternya!. Fisik hanya bungkus seorang manusia. Betapa banyak wanita minder karena gemuk, mereka harus belajar ‘kenyataan hidup’ di sisi yang lain, bahwa fisik bukan halangan untuk sukses!
Presiden RI Habibie yang kecil, tidak merasa minder memimpin para jenderal dan menteri yang tinggi dan tegap, karena beliau ‘jiwanya’ besar! Yang lebih mengagumkan saya adalah Gus Dur, beliau tidak bisa melihat, namun berani menjadi Presiden.
Mereka memiliki ‘kekurangan secara fisik’, tetapi mereka adalah para pahlawan jiwa, hati mereka lebih besar dari keadaan fisik mereka yang ‘kurang menguntungkan’. Habibie tidak berpikir bahwa tubuhnya yang kecil dan pendek merupakan halangan untuk memimpin para menteri atau jenderal yang berperawakan tinggi besar. Megawati tidak minder dengan gemuknya dan Gus Dur tidak berpikir bahwa sakit matanya, merupakan penghalang untuk meraih prestasi tertinggi di negara ini, untuk menjadi orang nomor satu, presiden RI. Mereka telah menembus batas-batas ‘keadaan fisik’.
Ignace Paderewski pianis besar Polandia, guru musiknya mengatakan kepadanya tangannya terlalu kecil untuk menguasai tuts piano.
Lee Hei A, pianis Korea yang kedua tangannya hanya 2 jari, tubuhnya pendek, dan waktu kecil mengalami keterbelakangan mental, ayahnya juga cacat. Th 2007 baru saja konser di Jakarta. Permainannya memukau ribuan orang. Seandainya Lee Hei A tidak cacat, jari-jarinya 5 dan badannya sempurna, apakah orang akan terpukau? Belum tentu, karena cukup banyak orang ‘normal’ lainnya yang bermain piano jauh lebih baik dari Lee Hei A. Orang terpesona, karena orang ‘cacat’ jari hanya 2 tetapi bisa bermain piano. Lee Hei A keliling dunia untuk konser, dan dimana-mana sukses. Kelemahan Lee Hei A, justru menjadi kekuatannya.
Pada tahun 1983, ketika Dwayne Pingston baru berusia 19 tahun, ia menghindari tabrakan dari depan dengan membanting setirnya ke kanan. Dalam prosesnya ia menabrak bahu jalan dan terlempar dari mobilnya. Lehernya patah dan kaki-kakinya tak dapat digerakkan lagi. Dwayne telah menerima fakta bahwa ia lumpuh dari pinggangnya ke bawah dan akan menjadi seperti itu seumur hidupnya. Ia bisa saja menangisi nasibnya, namun dia tidak melakukan itu. Sebaliknya ia mensyukuri segala hal yang masih dapat dilakukannya dan menindak-lanjutinya. Dengan kursi roda, ia mencari nafkah dengan dua pekerjaan. Ia mereparasi mobil-mobil tua dan juga menjadi pengantar mobil-mobil yang dirancang menurut pesanan, mulai dari Jaguar hingga Troy, ke pelanggan-pelanggan di seluruh penjuru negara. Rasa humornya luar biasa dan ia bahkan menyatakan beruntung tidak dapat merasakan apa-apa pada kedua kakinya.
Demosthenes adalah seorang yang gagap. Untuk mewarisi harta dari orang tuanya, dia harus berbicara di dewan kota. Karena dia tidak berani dan tidak bisa berbicara maka hartanya jatuh ke orang lain. Dia bertekad untuk belajar berbicara di depan umum. Dia berjalan-jalan di tepi pantai sambil berteriak kepada ombak, sehingga meski cacat gagap, akhirnya ia menjadi seorang ahli pidato terkenal di Yunani.
Borghild Dahl, penulis buku “I Wanted to See” (Saya Ingin Melihat). “Saya hanya punya satu mata. Itu pun hampir tertutup seluruhnya oleh selaput, sehingga saya hanya bisa melihat melalui celah kecil mata saya sebelah kiri. ” Di rumah ia senang membaca. Tapi bukunya harus didekatkan ke mata sampai bulu matanya menyentuh halaman buku. Ia berhasil meraih dua gelar sarjana muda dari Universitas Minnesota dan Master of Arts dari Universitas Columbia.
Ada pelajaran luar biasa bagi kita semua dalam kisah ini: Jangan
menangisi kehilangan kita; bersukacitalah dengan apa yang masih kita
miliki.
Beberapa waktu yang lalu salah satu acara televisi memuat kisah kehidupan seorang yang bernama Henry Porter. Ia
cacat dari sejak lahir. Penyakit ini membuatnya sulit bicara, berjalan
atau menggunakan tangannya dengan normal. Tetapi ibunya selalu
mengatakan bahwa ia dapat melakukan apa saja yang ia inginkan. Henry
bertumbuh menjadi seorang yang ulet, tekun dan tidak mudah
menyerah. Pada waktu dewasa, ia berkali-kali ditolak ketika melamar
pekerjaan. Akhirnya ia diterima bekerja sebagai salesman. Ia menjual
alat-alat rumah tangga dari pintu ke pintu. Setiap hari pagi-pagi ia
berangkat bekerja dengan bus. Lalu ia berhenti disebuah hotel dimana
seorang penjaga hotel menolongnya dengan kancing baju dan dasinya. Lalu
berangkatlah ia dan mengetuk pintu demi pintu dan berusaha menjual
produknya. Ia tak pernah mengeluh walaupun bagi dia tidak mudah untuk
berjalan sejauh itu.Ketika pulang ia harus mengetik hasil penjualannya.
Ia hanya dapat menggunakan satu jarinya untuk mengetik sehingga
pekerjaan ini memakan waktu berjam-jam lamanya. Bertahun-tahun ia
lakukan semuanya ini dengan sabar setiap hari. Kehidupan dan keuletan Henry Porter menjadi inspirasi dan menyentuh hati banyak orang sehingga ia menerima penghargaan dari kongres Amerika.
Orison Wett Marden, seorang penulis dan pendiri Success Magazine, berkata: “There is genius in persistence. It conquers all opposers. It gives confidence. It annihilates obstacles. Everybody believes in a determined man. People know that when he undertakes a thing, the battle is half won, for his rule is to accomplish whatever he sets out to do.”
Kita bisa berbuat banyak dengan apa yang kita miliki, apapun itu. Kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan yang tidak ada pada kita. Jika kita hanya berpikir apa yang kita tidak punyai, kita tidak akan berbuat apa-apa.
Untuk cacat tertentu, memang tidak akan bisa mendaftar di AKABRI atau beberapa profesi tertentu, namun di muka bumi ini ada ribuan jenis profesi dan jenis kehidupan yang memberi peluang untuk maju, jika kita mau. Cacat fisik bukan batas untuk sukses, asal tekun, ulet, gigih pasti akhirnya bisa berhasil.
Keadaan fisik bukan kendala untuk sukses. Yang menjadi halangan adalah kalau saudara berpikir bahwa keadaan fisik saudara menghalangi sukses. Karena itu ubah pikiran saudara, tembuslah batas itu, raih prestasi tertinggi dan hidup maksimal.